Apabila kita melihat dari sudut pandang psikologi perkembangan, dunia nampak semakin tua,
manusia semakin cerdas, pengetahuan semakin dewasa, dan teknologi pun semakin canggih.
Namun di balik semua itu, apakah kehidupan kita menjadi semakin baik, semakin nyaman, dan
semakin sejahtera baik secara lahiriah maupun bathiniah?
Mungkin tidak, bahkan sebaliknya.
Kehidupan kita nampaknya semakin mundur dan terpuruk, reformasi kita gebablasan, korupsi
semakin terang-terangan dan merajalela, krisis multi dimensi pun tak kunjung selesai. Bangsa ini
nampaknya sudah cukup lelah melihat, menyaksikan dan mengalami keadaan yang demikian.
Seperti dikemukakan oleh Dedi Supriadi (Pikiran Rakyat, 12 Juni 2001: 8-9) bahwa “Orde Baru
berakhir, dan muncul Era Reformasi. Era ini menyaksikan sosok bangsa ini yang lunglai, terkapar
dalam ketidak berdayaan akibat berbagai krisis yang dialaminya.”
Keadaan tersebut tidak saja mengakibatkan terpuruknya ekonomi, tetapi juga mengakibatkan
merosotnya kualias hidup, bahkan merosotnya martabat bangsa. Apakah gerangan yang
menyebabkan semua itu? Kalau kita telaah mungkin akan muncul sederetan faktor penyebab. Ada
yang mengatakan karena pejabatnya tidak jujur, korup, penegak hukumnya tidak adil, rakyatnya
tidak produktif, karyawan bawahannya tidak loyal, tidak bisa kerjasama, tidak empati, tidak
mempunyai keteguhan hati dan komitmen, pelajar dan mahasiswanya tawuran, dsb.
Jadi, kalau kita simak dari uraian di atas, faktor penyebab utamanya adalah masalah nilai moral,
sekali lagi nilai moral. Mungkinkah nilai moral sudah hilang di Negara kita? Mungkinkah nilai
moral sudah tidak dimiliki oleh generasi penerus bangsa? Seperti dikatakan oleh Pam Schiller &
Tamera Bryant (2002: viii) bahwa: “jika kita meninggalkan pelajaran tentang nilai moral yang
kebanyakan sudah berubah, kita, sebagai suatu Negara, beresiko kehilangan sepotong kedamaian
dari budaya kita.” Timbullah pertanyaan, apakah pelajaran tentang nilai moral di Negara kita selama
ini telah diabaikan?
Menurut Dedi Supriadi, “Pendidikan budi pekerti dan pendidikan agama pada
saat itu (1968-1980-an) dapat dikatakan ‘terpinggirkan’ oleh haru-biru semangat Pendidikan Moral
Pancasila.” Bagaimana pada tahun 2000-2010 an sampai sekarang? Apakah pendidikan budi pekerti
dan pendidikan agama masih juga terabaikan?
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa satu penyebab krisis multi dimensi,
termasuk krisis moral yang menimpa bangsa kita adalah karena telah terabaikannya “Pendidikan
Moral” (dalam pengertian pendidikan agama, budi pekerti, akhlaq, nilai moral) bagi generasi
penerus. Betapa tidak, ajaran agama mengatakan: “carilah untuk kehidupan duniamu seolah-olah
kamu akan hidup selamanya, dan carilah akheratmu seolah-olah kamu akan mati besok pagi,” hal
ini mengandung makna bahwa dalam studi ilmu pengetahuan umum dan agama hendaklah
seimbang, berotak Jerman-berhati Mekah, demi mencapai kesejahteraan hidup di dunia ini dan
akherat nanti. Dengan demikian, kalaulah di SD, SMP, atau SMU terdapat 36 jam pelajaran
perminggu, setidaknya terdapat 18 jam untuk ilmu pengetahuan umum dan 18 jam untuk agama
(semua agama), atau paling tidak 20 jam pelajaran untuk pengetahuan umum dan 16 jam untuk
agama( pendidikan nilai moral). Sedangkan yang ada dari dulu sampai sekarang komposisinya
adalah 34 jam pelajaran untuk pengetahuan umum dan 2 (dua) jam atau paling banyak 4 (empat)
jam untuk pendidikan agama, dari TK sampai perguruan tinggi.
Jadi, dengan hanya 4 (empat) jam pelajaran perminggu anak sebagai generasi penerus mendapatkan
apa? Agama yang kokoh? Moral yang tinggi? Akhlaq mulia? Mungkin tidak, barangkali hanya
mendapatkan kulitnya saja, dan tidak tau isinya. Akhirnya agama hanya dibibir, belum menjadi
penghayatan dan pengamalan. Orang yang mengaku beragama tetapi tidak pernah
mengamalkannya, ia bagaikan memiliki garam satu truk tetapi tidak pernah tahu rasa asinnya,
punya gula satu peti kemas tetapi tidak pernah tau rasa manisnya. Inilah gambaran generasi penerus
kita. Tak ayal lagi nilai-nilai moral/agama tidak tertanam dan tidak dimilikinya oleh anak didik kita,
kecuali hanya sangat sedikit. Apa akibatnya? Ketika mereka menginjak bangku SMP sudah mulai
tawuran, menginjak SMA mendapatkan julukan SMA tawuran, dan ketika mereka menduduki
bangku kuliah, apa yang terjadi. Kalau mereka menjadi mahasiswa, mungkin akan menjadi
mahasiswa yang agresif, pemberani, pendemo dan tukang tawuran. Kalau kelak mereka menjadi
pejabat, mungkin tidak jujur dan korup. Inikah moral mereka?
Pendidikan nilai moral/agama sangat penting bagi tegaknya satu bangsa. Tanpa pendidikan nilai
moral (agama, budi pekerti, akhlaq) kemungkinan besar suatu bangsa bisa hancur, carut marut. Oleh
karena itu “Munculnya kembali pendidikan budi pekerti sebagai primadona dewasa ini
mencerminkan kegusaran bangsa ini akan terjadinya krisis moral bangsa dan kehidupan sosial yang
carut marut.” (Dedi Supriadi, Pikiran Rakyat 12 Juni: 8-9).
Pam Schiller & Tamera Bryant (2001:vii) mengemukakan “Inilah waktunya untuk
menentukan apakah nilai-nilai moral penting bagi masa depan anak-anak kita dan
keluarga kita, dan kemudian mendukung dan mendorong mereka mempraktikkan nilainilai
moral tersebut dalam kehidupan sehari-hari kita. Siapa yang bertanggung-jawab
untuk mengajarkan nilai-nilai moral ini pada anak-anak kita? Tanggung-jawab itu
dipikul oleh kita semua. Apakah kita menyadari atau tidak, kita selalu mengajarkan nilai
moral, tetapi kita harus lebih berusaha keras untuk mengajarnya. Nilai-nilai moral yang
kita tanamkan sekarang, sadar atau tidak sadar, akan mempunyai pengaruh yang sangat
besar pada masyarakat yang akan datang.”
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis tertarik membahas masalah ini, dengan tema
“Pentingnya Pendidikan Nilai Moral bagi Generasi Penerus”.
B. Tinjauan Teoretis
Apakah Pendidikan Nilai Moral?
“Pendidikan dalam arti yang luas meliputi semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk
mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya serta keterampilannya kepada
generasi muda sebagai usaha menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah
maupun rohaniah.” (Soegarda Poerbakawaca, & Harahap, H.A.H., 1981: 257).
Menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 pasal 1
ayat (1): “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara.”
Sedangkan “nilai merupakan suatu ide — sebuah konsep — mengenai sesuatu yang
dianggap penting dalam kehidupan. Ketika seseorang menilai sesuatu ia menganggap
sesuatu tersebut berharga — berharga untuk dimiliki, berharga untuk dikerjakan, atau
berharga untuk dicoba maupun untuk diperoleh. Studi tentang nilai biasanya terbagi ke
dalam area estetik dan etik. Estetik berhubungan erat dengan studi dan justifikasi
terhadap sesuatu yang dianggap indah oleh manusia — apa yang mereka nikmati. Etik
merupakan studi dan justifikasi dari tingkah laku — bagaimana orang berperilaku. Dasar
dari studi etik adalah pertanyaan mengenai moral — yang merupakan suatu refleksi
pertimbangan mengenai sesuatu yang dianggap benar atau salah.” (Jack R. Fraenkel,
1977: 6). Moral menurut kamus Poerwadarminta, (1989: 592) adalah “ajaran tertentu
baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dsb; akhlaq,
budi pekerti, susila.”
Menurut Soegarda, P., dan Harahap, H.A.H., (1981: 434) ciri-ciri yang menunjukkan
adanya pendidikan moral: (1) cukup memperhatikan instink dan dorongan-dorongan
spontan dan konstruktif, (2) cukup membuka kondisi untuk membentuk pendapat yang
baik, (3) cukup memperhatikan perlunya ada kepekaan untuk menerima dan sikap
responsive, (4) pendidikan moral memungkinkan memilih secara bijaksana mana yang
benar, mana yang tidak.”
Jadi Pendidikan Nilai Moral adalah suatu usaha sadar yang dilakukan oleh manusia
(orang dewasa) yang terencana untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik (anak,
generasi penerus) menanamkan ketuhanan, nilai-nilai estetik dan etik, nilai baik dan buruk,
benar dan salah, mengenai perbuatan, sikap dan kewajiban; akhlaq mulia, budi pekerti luhur
agar mencapai kedewasaannya dan bertanggungjawab.
Adapun ruang lingkup materi Pendidikan Nilai Moral antara lain meliputi:
ketuhanan, kejujuran, budi pekerti, akhlaq mulia, kepedulian dan empati, kerjasama dan
integritas, humor, mandiri dan percaya diri, loyalitas, sabar, rasa bangga, banyak akal, sikap
respek, tanggungjawab, dan toleransi (Pam Schiller & Tamera Bryant, 2002), serta ketaatan,
penuh perhatian, dan tahu berterima kasih.
C. Teori Pendidikan Nilai Moral
Pendidikan Nilai Moral ini didukung oleh beberapa teori perkembangan, antara lain teori
perkembangan Sosial dan Moral siswa yang dikemukakan oleh Lawrence Kohlberg dan Albert
Bandura.
1. Teori Perkembangan Pertimbangan Moral Kohlberg
Lawrence Kohlberg adalah pengikut Piaget, menemukan tiga tingkat perkembangan
moral yang dilalui para remaja awal, masa remaja, dan pasca remaja. Setiap tingkat
perkembangan terdiri atas dua tahap perkembangan, sehingga secara keseluruhan
perkembangan moral manusia terjadi dalam enam tahap.
Menurut Kohlberg perkembangan sosial dan moral manusia terjadi dalam tiga tingkatan
besar yaitu: (a) tingkatan moralitas prakonvensional, yaitu ketika manusia berada dalam
fase perkembangan remaja awal, yang belum menganggap moral sebagai kesepakatan
tradisi sosial; (b) tingkat moralitas konvensional, yaitu ketika manusia menjelang dan
mulai memasuki fase perkembangan masa remaja, yang sudah menganggap moral
sebagai kesepakatan tradisi sosial; (c) tingkat moralitas pascakonvensional, yaitu ketika
manusia telah memasuki fase perkembangan masa remaja dan pasca remaja (usia 13
tahun ke atas), yang memandang moral lebih dari sekedar kesepakatan tradisi sosial.
Untuk lebih jelasnya kita lihat table di bawah ini:
ENAM TAHAP PERKEMBANGAN PERTIMBANGAN MORAL KOHLBERG
TINGKAT
\
TAHAP KONSEP MORAL
Tingkat I Moralitas prakonvensional
(usia 4-10 tahun)
Tahap 1:
Memperhatikan ketaatan dan hukum
Tahap 2:
Memperhatikan pemuasan kebutuhan
1. Anak menentukan keburukan berdasarkan tingkat hukuman akibat keburukan tersebut;
2. Perilaku baik dihubungkan dengan penghindaran diri dari hukuman;
3. Perilaku baik dihubungkan dengan pemuasan keinginan dan kebutuhan sendiri tanpa mempertimbangkan kebutuhan orang lain.
Tingkat II Moralitas konvensional (usia
10-13 tahun)
Tahap 3: Memperhatikan citra “anak baik”
Tahap 4: Memperhatikan hukum dan peraturan
1. Anak dan remaja berperilaku sesuai dengan aturan dan patokan moral agar memperoleh persetujuan orang dewasa, bukan untuk menghindari hukuman;
2. Perbuatan baik dan buruk dinilai berdasarkan tujuannya. Jadi, ada perkembangan kesadaran terhadap perlunya aturan.
1. Anak dan remaja memiliki sikap pasti terhadap wewenang dan peraturan;
2. Hukum harus ditaati oleh semua.
Tingkat III Moralitas pascajonvensional
(usia 13 tahun ke atas)
1. Remaja dan dewasa mendefinisikan (mengartikan)
Tahap 5: Memperhatikan hak perseorangan.
Tahap 6: Memperhatikan prinsipprinsip etik perilaku baik sebagai hak pribadi sesuai dengan aturan dan patokan sosial;
2. Perubahan hukum dan aturan dapat diterima jika diperlukan untuk mencapai halhal yang paling baik;
3. Pelanggaran hukum dan aturan dapat terjadi karena alasan-alasan tertentu.
1. Keputusan mengenai prilaku sosial didasarkan atas prinsip moral pribadi yang bersumber dari hukum universal yang selaras dengan kebaikan umum dan kepentingan orang lain;
2. Keyakinan terhadap moral pribadi dan nilai-nilai tetap melekat meskipun sewaktu-waktu berlawanan dengan hukum yang dibuat untuk mengekalkan aturan sosial.
2. Teori Belajar Sosial dan Moral Albert Bandura
Prinsip dasar belajar hasil temuan Bandura meliputi proses belajar sosial dan moral.
Menurut Bandura sebagian besar dari yang dipelajari manusia terjadi melalui peniruan
(imitation) dan contoh perilaku (modeling). Anak mempelajari respon-respon baru
dengan cara pengamatan terhadap perilaku model/contoh dari orang lain yang menjadi
idola, seperti guru, orang tua, teman sebaya, dan atau insan film yang setiap saat muncul
di tayangan televisi.
Pendekatan teori belajar sosial terhadap proses perkembangan sosial dan moral siswa
ditekankan pada perlunya conditioning (pembiasaan merespon) dan imitation (peniruan).
Proses internalisasi atau penghayatan siswa terhadap moral standarts (patokan-patokan
moral) terus terjadi. Imitasi atau peniruan terhadap orang tua, guru, teman idola, dan
insan film memainkan peran penting sebagai seorang model atau tokoh yang dijadikan
idola atau contoh berperilaku sosial dan moral bagi siswa (generasi penerus).
Untuk lebih jelasnya kita lihat table di bawah ini:
PERBANDINGAN ANTARA TEORI PERKEMBANGAN SOSIAL
DAN MORAL BANDURA DAN KOHLBERG
ASPEK ALBERT BANDURA LAWRENCE KOHLBERG
Tekanan dasar Perilaku
Bergantung pada orang lain
dan kondisi stimulus
Pemikiran
Sebagai perilaku kualitatif dalam
perkembangan
Mekanisme
perolehan
moralitas
Hasil dari conditioning dan
modeling
Berlangsung pada tahap-tahap yang
teratur dan berkaitan dengan
perkembangan kognitif moralitas
Usia
perolehan
Belajar berlangsung
sepanjang hayat, dan ada
perbedaan usia perolehan
Proses belajar berkesinambungan
sampai masa dewasa, dan juga dapat
ditetapkan dalam usia-usia tertentu
Kenisbian
kebudayaan
Moralitas bersifat nisbi secara
kultural
Nilai-nilai moral dalam tahapan
perkembangan bersifat universal
Pelaku
sosialisasi
Model-model dan idola yang
sangat berpengaruh, orangorang
dewasa dan temanteman
yang dapat
menyalurkan ganjaran dan
hukuman
Orang-orang yang berada pada tahap
perkembangan yang lebih tinggi dan
memiliki pengaruh yang sangat besar
Implikasi
untuk
pendidikan
Orang tua, guru, teman, dan
insane film harus menjadi
teladan yang baik dan
mengganjar setiap perilaku
siswa yang memadai
Guru harus berusaha merangsang dan
menstimulus siswa agar agar mencapai
tahap perkembangan selanjutnya, dan
menjelaskan ciri-ciri perilaku moral
pada tahap tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
PENDIDIKAN NILAI MORAL
A. Fenomena Tingkah laku Amoral Remaja
Kita seringkali menyaksikan di banyak mass media elektronik dan cetak, fenomena
tingkah laku amoral remaja yang semakin hari semakin meningkat, dari tindakan amoral
yang paling ringan, seperti: membohong, menipu, perilaku menyontek di sekolah, tidak
menaati peraturan, mélanggar norma, mencaci maki, dll., sampai pada tingkat yang
paling menghawatirkan, mencemaskan dan meresahkan orang tua dan masyarakat,
bahkan mengganggu ketertiban umum, kenyamanan, ketenteraman, dan kesejahteraan,
serta merusak fasilitas umum, seperti: mencuri, menodong/merampok, menjambret,
memukul, tawuran pelajar, tindak kekerasan, criminal, demonstrasi yang anargis, mabuk,
dan bahkan sampai membunuh, serta mutilasi. Pendek kata perilaku amoral ini
mengancam keselamatan fisik dan jiwa diri mereka dan orang lain.
Pada tataran akademi di jenjang SMP seringkali terjadi tawuran antar pelajar, pada
jenjang SMA tawuran pelajar frekuensinya meningkat, dari saling mengejek dan
mencaci, saling lempar batu, saling memukul, dan bahkan menggunakan senjata tajam
sehingga seringkali terjadi saling bunuh. Pada jenjang ini mereka mendapatkan julukan
SMA tawuran. Pada gilirannya di tingkat perguruan tinggi mereka bertambah agresif dan
pemberani, mereka menjadi pendemo yang tangguh, tidak hanya lawan sebaya sesama
mahasiswa yang dijadikan musuh, tetapi aparat pun dilawan, bahkan berani mencaci
maki para pejabat, dan pemimpin Negara walaupun nyawa menjadi taruhannya, mereka
nyaris tidak pernah takut. Padahal lawan mereka adalah orang-orang yang seharusnya
mereka tolong, hormati, hargai, dan segani. Seperti yang kita saksikan di TV dan Koran
hampir setiap hari terjadi demo anargis dan bentrokan mahasiswa dengan aparat Negara.
Perilaku amoral, tawuran kolektif, menurut Gustve le Bon dalam bukunya The Crowd,
identik dengan irasionalitas, emosionalitas, dan peniruan individu. Perilaku seperti ini
berawal dari sharing nilai atau penyebaran isu, kemudian kumpulan individu tersebut
frustasi dan akhirnya melakukan tindakan anarkhis. “faktor-faktor ini bisa menjadi
penyebab terjadinya konflik yang dapat menimbulkan kerusuhan sosial “ ujar Imam B.
Pasojo, sosiolog dari UI.
B. Kondisi Ideal Remaja sebagai Generasi Penerus
Remaja sebagai generasi penerus bangsa memiliki peran dan posisi yang strategis.
Mereka merupakan harapan masa depan bangsa. Maju atau mundurnya bangsa dan
Negara ada di pundak mereka. Kalau mereka maju maka majulah Negara, tetapi kalau
meraka bobrok, mundur, dan loyo, maka mundurlah Negara. Sudut pandang psikologi
para remaja sebagai generasi penerus memiliki potensi yang bisa dikembangkan secara
maksimal. Potensi mereka yang prospektif, dinamis, energik, penuh vitalitas, patriotism
dan idealism harus dikembangkan melalui pendidikan dan pelatihan yang terrencana dan
terprogram.
Remaja sebagai generasi penerus juga memiliki kemampuan potensial yang bisa diolah
menjadi kemampuan actual. Selain itu juga memiliki potensi kecerdasan intelektual,
emosi dan sosial, berbahasa, dan keserdasan seni yang bisa diolah menjadi kecerdasan
aktual yang dapat membawa mereka kepada prestasi yang tinggi dan kesuksesan.
Mereka memiliki potensi moral yang dapat diolah dan dikembangkan menjadi moral
yang positif sehingga mampu berpartisipasi aktif dalam pembangunan bangsa dan
Negara yang penuh dengan kejujuran, tidak korup, semangat yang tinggi dan
bertanggungjawab. Potensi mereka yang prospektif, dinamis, energik, penuh vitalitas,
patriotisme dan idealisme telah dibuktikan ketika jaman Pergerakan Nasional, pemuda
pelajar telah banyak memberikan kontribusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal itu bisa terwujud apabila semua potensi mereka dikembangkan dan salah satunya
adalah potensi moral. Oleh karena itu remaja sebagai generasi penerus harus
diselamatkan melalui Pendidikan Nilai Moral. Sehingga harkat dan martabat bangsa bisa
terangkat. Kualitas hidup meningkat, dan kesejahteraan serta kenyamanan pun bisa
didapat.
C. Pendidikan Nilai Moral dan Implikasinya
Melihat dan memperhatikan fenomena dan kondisi ideal remaja sebagai generasi
penerus maka Pendidikan Nilai Moral perlu ditanamkan sejak usia dini dan harus
dikelola secara serius. Dilaksanakan dengan perencanaan yang matang dan program
yang berkualitas. Misalnya dengan jumlah jam pelajaran yang memadai, program yang
jelas, teknik dan pendekatan proses pembelajaran yang handal serta fasilitas yang
memadai. Jika hal ini bisa dilaksanakan dengan baik, niscaya generasi penerus akan
memiliki moral yang baik, akhlaq mulia, budi pekerti yang luhur, empati, dan
tanggungjawab. Sehingga yang kita saksikan bukan lagi kekerasan dan tawuran,
melainkan saling membantu, menolong sesama, saling menyayangi, rasa empati, jujur
dan tidak korup, serta tanggungjawab. Jangankan memukul atau membunuh, sedangkan
mengejek, mengeluarkan kata-kata kotor dan menghina teman pun tidak boleh karena
dinilai sebagai melanggar nilai-nilai moral.
Uraian tersebut menggambarkan betapa pentingnya pendidikan nilai moral bagi generasi
penerus bangsa yang tercinta ini. Permasalahannya adalah kapan hal ini bisa kita
lakukan? Sekarang? Besok? Atau besok lagi? Kadangkala yang terjadi di masyarakat
kita malah sebaliknya. Sejak dini anak sudah kita ajari dan kita didik tidak jujur dan
tidak percaya diri. Sadar atau tidak kita sebenarnya telah melakukan kesalahan yang
sangat merugikan anak. Misalnya ketika anak kita terbentur meja, kita katakana meja
nakal, meja yang salah, sambil kita memukuli meja. Ini berarti anak telah kita ajari tidak
jujur pada dirinya, dan selalu menyalahkan orang lain di luar dirinya, sehingga tertanam
pada diri anak bahwa semua yang di luar dirinya adalah salah. Kalau ini terus
berkembang, satu saat nanti ketika dia menjadi mahasiswa atau pejabat, dia akan
menjadi manusia yang selalu menyalahkan orang lain, dan tidak pernah merasa dirinya
yang bersalah dan harus meminta maaf. Bahkan yang terjadi adalah mencaci maki orang
lain, menyalahkan orang lain walaupun kenyataannya orang lain lebih pintar dari
dirinya. Pejabat pun mereka caci maki, bahkan presiden sekali pun mereka caci maki.
Teori pembelajaran sosial dari Bandura. Dapat dipahami bahwa perilaku anti sosial dan
amoral, seperti yang ditayangkan di media elektronika dan cetak akan menjadi idola dan
model yang sangat mudah dan cepat ditiru dan diadopsi oleh anak. Hal ini sangat
berbahaya. Seperti tayangan yang jelas-jelas merupakan film kekerasan setingkat anak
TK yang dipoles dengan humor. Film eksen yang penuh adegan perkelahian, darah, dan
pembunuhan yang dengan mudah dapat diakses oleh anak dan para generasi muda
penerus bangsa. Semua itu akan memicu tindak amoral dan kekerasan di kalangan anakanak
dan remaja. Seperti dikatakan oleh Bandura, “bahwa dalam kehidupan sehari-hari
individu menghadapi berbagai jenis stimulus model, yakni model hidup (seperti: bintang
film, guru, orang tua, teman sebaya, dsb.) dan model lambang adalah perwujudan
tingkah laku dalam gambar, seperti: film, TV, dan media cetak lainnya.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan uraian bab I dan II di atas dapat ditarik kesimpulan dan saran sebagai
berikut:
A. Kesimpulan:
1. Pedidikan Nilai Moral/Agama sangat penting bagi anak dan para remaja
sebagai generasi penerus bangsa, agar martabat bangsa terangkat, kualitas hidup
meningkat, kehidupan menjadi lebih baik, aman dan nyaman serta sejahtera.
2. Kondisi faktual Pendidikan Nilai Moral/Agama di Indonesia dari tahun
1968 sampai saat ini masih terabaikan, belum ditangani secara terencana dan
serius. Hal ini terbukti adanya jumlah jam pelajaran yang bernuansa pendidikan
agama dan budi pekerti sangat minim, yaitu hanya 2 sampai 4 jam perminggu
dari jumlah jam 34 sampai 42 jam perminggu. Padahal dengan KTSP sebenarnya
lebih bisa diatur, sehingga kebutuhan ini bisa terakomodasi dan terpenuhi.
3. Fenomena perilaku amoral remaja saat ini sangat mencemaskan dan
meresahkan, bahkan telah mengganggu ketertiban umum dan membuat
kehidupan tidak aman serta nyaman. Kalau hal ini tidak segera ditangani secara
serius dan terencana yaitu dengan Pendidikan Nilai Moral/Agama, kemungkinan
besar bangsa ini akan kehilangan generasi penerus.
4. Kondisi ideal remaja sebagai generasi penerus, merupakan individu yang
sedang berkembang, dan oleh karena itu perlu diberi kesempatan berkembang
secara proporsional dan terarah, dan mendapatkan layanan pendidikan yang
berimbang antara pengetahuan umum dan pendidikan nilai moral/agama. Mereka
memiliki peran dan posisi strategis dalam kelangsungan kehidupan berbangsa
dan bernegara.
5. Pada hakekatnya pelaksanaan Pendidikan Nilai Moral telah lama ada dan
telah didukung oleh teori yang handal. Pelaksanaan Pendidikan Nilai
Moral/Agama dapat mengacu pada teori perkembangan moral versi Kohlberg,
Bandura, dan atau teori lain yang relevan.
6. Ruang lingkup materi Pendidikan Nilai Moral antara lain meliputi:
ketuhanan, budi pekerti luhur, akhlaq mulia, baik-buruk, benar-salah, kepedulian
dan empati, kerjasama, suka menolong, berani, keteguhan hati, adil, kejujuran
dan integritas, humor, mandiri dan percaya diri, loyalitas, sabar, rasa bangga,
banyak akal, sikap respek, toleransi, ketaatan, penuh perhatian, komitmen, tahu
berterima kasih dan tanggungjawab.
7. Orang tua, guru, teman sebaya yang menjadi idola, para aktor film/sinetron
hendaknya menjadi contoh teladan perilaku yang baik dan mencerminkan
tingkah laku yang mengandung nilai-nilai moral yang baik.
B. Saran
1. Ditujukan terutama kepada pembuat kebijakan, agar Pendidikan Nilai
Moral ini segera mendapat perhatian, segera ditata kembali agar berfungsi secara
proporsional dan dilakukan secara professional, terencana, terprogram, dan
terarah. Pendidikan Nilai Moral hendaknya dapat dimasukkan ke dalam sistem
Pendidikan Nasional. Mengingat Pendidikan Nilai Moral ini sangat penting bagi
kelangsungan hidup para generasi penerus bangsa. Tanpa Pendidikan Nilai Moral
kemungkinan besar bangsa dan Negara ini akan terus terpuruk dengan seribu satu
permasalahan yang akan muncul.
2. Para pendidik dan psikolog serta agamawan hendaklah menjalin kerjasama
yang kondusif demi terlaksananya Pendidikan Nilai Moral yang proporsional dan
professional di semua jenjang pendidikan.
3. Para anggota legeslatif diharapkan lebih proaktif dalam ikut serta
terlaksanya Pendidikan Nilai Moral ini. Pendidikan Nilai Moral perlu
diperjuangkan di tingkat parlemen agar segera dapat terealisir.
Makasih sudah berbagi ilmu ..............................
BalasHapusbisnistiket.co.id
terima kasih kembali,
Hapussemoga bermanfaat.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus